Refleksi Kompilasi Hukum Islam Antara Civil Law & Common Law
Refleksi atas Kompilasi Hukum Islam: Antara Civil Law dan Common Law
Khusnul Khuluq
Paling tidak, ada dua sistem hukum yang beraku di dunia.
Yaitu civil law dan common law. Ciri penting dari sistem civil law adalah adanya norma hukum yang dikodifikasi. Sebaliknya, ciri penting dari common law adalah tidak adanya norma hukum yang dikodifikasi. Lalu di mana posisi Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
Dalam hal ini, kita bisa melakukan beberapa analisa untuk melihat di mana kecenderungan KHI antara kedua sistem hukum tersebut. Yaitu dengan melihat KHI dalam konteks sumber hukum, posisi hakim dalam proses persidangan, dan sistem peradilan.
Pertama, dalam konteks sumber hukum. Terbentuknya KHI merupakan suatu kebutuhan. Peradilan agama sebagai salah satu peradilan di bawah Mahkamah Agung memerlukan sumber materi hukum yang berlaku umum. Awalnya, sumber-sumber itu melimpah dalam banyak buku fikih. Itu menimbulkan problem ketidakseragaman hakim dalam memutus perkara. Dan itu mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Maka disusunlah KHI untuk menyeragamkan.
Dengan adanya KHI, mungkin untuk mewujudkan keseragaman hukum yang pada akhirnya membawa pada kepastian hukum. Kepastian hukum adalah salah satu bentuk dari keadilan. Dengan itu, ada alur yang pasti. Hukum yang tidak bisa ditebak sedikit menjengkelkan bagi para pencari keadilan.
Mesi bentuknya sama halnya Undang-Undang karena memuat pasal-pasal dan tersusun sistematis, namun KHI bukan regulasi sederajat dengan Undang-Undang. Artinya, dia bukan
Undang-Undang. Bukan juga sama halnya peraturan pemerintah. Meski demikian, dia tetap eksis.
Yang membuat KHI terus eksis adalah penggunaannya secara masif. Dia menjadi rujukan penting di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara. Dari situ, muncul keseragaman hukum. Sehingga, hakim tidak lagi berbeda dalam memberikan keputusan dalam perkara yang serupa.
Karena dasar pemberlakuannya adalah Inpres, maka ada anggapan bahwa KHI adalah dasar hukum yang lemah dari segi hierarki. Karena itu, ada upaya untuk mendudukkan posisi KHI menjadi yurisprudensi. Karena digunakan secara terus-menerus, dia bisa menduduki posisi yurisprudensi.
Namun, konsepsi yurisprudensi secara formal adalah, keputusan hakim yang dirujuk oleh hakim lain untuk menyusun keputusan dalam kasus yang serupa. Agaknya, ini berbeda dengan apa yang terjadi dengan KHI. Para hakim dalam menyusun keputusan, tidak merujuk pada keputusan hakim sebelumnya. Namun, langsung merujuk pada KHI.
Sehingga, dalam hal ini, jika pasal-pasal KHI mejadi yurisprudensi, itu bukan karena dia dirujuk terus-menerus. Namun, materi KHI menjadi yurisprudensi melalui mekanisme yurisprudensi pada umumnya. Yaitu ketika suatu putusan yang menjadikan pasal KHI telah mencapai proses kasasi. Sehingga, bisa dipahami bahwa posisi KHI tidak sebagaimana dalam sistem hukum common law.
Di dalam tata sumber hukum formil, sebagai Instruksi Presiden, KHI tidak memiliki posisi sebagaimana Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah. Inpres itu hanya semacam perintah atasan pada bawahan. Namun, dari segi substansi, dia tersusun secara rapi dan sistematis. Dan dia menjadi rujukan bagi para hakim dalam menyusun keputusan. Ini tampaknya telah memenuhi syarat sebagai hukum yang dikodifikasi sebagaimana dalam sistem civil law.
Kedua, dalam konteks posisi hakim dalam proses persidangan. Di dalam sistem civil law, hakim tidak terikat pada preseden. Hukum yang dikodifikasi menjadi rujukan utama. Ini berbeda dengan sistem common law yang menganut doktrin preseden. Di mana hakim dalam menyusun keputusan mengikuti keputusan terdahulu dalam kasus serupa.
Karena merujuk pada hukum yang dikodifikasi, ruang bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum relatif terbatas. Dia baru dikatakan melakukan terobosan hukum ketika benar-benar menghasilkan kaidah hukum yang benar-benar baru. Dalam menghadapi masalah baru, hakim dituntut untuk melakukan penafsiran atas hukum yang dikodifikasi itu. Bukan membuat kaidah hukum baru. Sementara itu, dalam sistem common law hakim terus dituntut melakukan terobosan sesuai dengan situasi. Hakim dituntut membuat kaidah baru jika belum ada kaidah yang menjadi preseden.
Lalu bagaimana KHI dalam konteks ini? Dengan merujuk pada KHI, ruang gerak hakim cenderung terbatas. Artinya, hakim tidak perlu repot-repot memutar otak untuk membuat kaidah hukum dalam memutus perkara. Dan juga tidak perlu membuka buku-buku rujukan dalam menyusun keputusannya, karena KHI telah menyediakan itu. Dengan mekanisme itu, selain menghasilkan keseragaman hukum, juga ada kepastian hukum. Ada standar yang terukur dalam sebuah sengketa.
Adapun jika ditemukan masalah yang sedikit pelik, maka hakim baru dituntut untuk melakukan penafsiran atas KHI. Hakim bukan membuat kaidah hukum baru, namun cukup dengan melakukan penafsiran atas KHI. Yang artinya, KHI tetap menjadi pikiran utama. Adapun kaidah baru itu, hanya merupakan pengembangan dari KHI.
Dalam hal ini, preseden hampir-hampir tidak diperhitungkan. Preseden hanya akan diperhitungkan dengan jalur yurisprudensi secara formal. Yaitu kaidah hukum dalam keputusan majelis tingkat kasasi. Apakah kaidah hukumnya muncul dari keputusan mejelis tingkat pertama, tingkat banding,
atau tingkat kasasi sendiri. Dalam konteks ini, melihat posisi hakim dalam proses persidangan yang terpusat pada KHI sebagai norma hukum yang dikodifikasi, tentu di samping norma hukum lain di luar KHI, kiranya posisi KHI lebih dekat dengan sistem civil law.
Ketiga, dalam konteks sistem peradilan. Di dalam sistem civil law, hakim punya standar tertentu dalam menilai dalil dalil- dalil yang diajukan. Para pihak cukup membuktikan dalil-dalil yang diajukan, dan hakim akan menilai apakah dalil-dalil itu sesuai dengan hukum yang dikodifikasi atau tidak. Dan dalam menilai pembuktian, hakim cukup memastikan apakah dalil-dalil yang diajukan terbukti atau tidak.
Ini berbeda dengan sistem common law di mana tidak ada standar tertentu untuk menilai dalil-dalil yang diajukan. Karena itu, para pihak bebas meyakinkan hakim dengan banyak cara. Begitu pula dalam mengajukan dalil, tidak terikat dengan standar tertentu, kecuali preseden mungkin.
Dalam konteks ini, dalam memeriksa perkara, majelis hakim akan menilai dalil-dalil yang diajukan berdasarkan perspektif KHI sebagai hukum yang dikodifikasi. Begitu juga dalam pembuktian, penilaian pembuktian didasarkan pada perspektif KHI. Begitu juga dalam menetapkan hukum, juga didasarkan pada perspektif KHI. Tentu di samping sumber hukum lain. Dilihat dari sistem peradilan seperti ini, aka posisi KHI lebih mirip dalam tradisi civil law.
Dari sini, kita bisa mendapat sedikit gambaran tentang posisi KHI antara sistem civil law dan common law. Dengan melihat KHI dalam konteks sumber hukum, di mana KHI diposisikan sebagai hukum yang dikodifikasi, posisi hakim dalam proses persidangan yang tidak terikat pada preseden dan mengacu pada KHI sebagai norma yang dikodifikasi, serta sistem peradilan yang dijalankan di mana KHI menjadi standar tertentu dalam menilai dalil-dalil yang diajukan dan menetapkan hukum, maka cukup aman untuk mengatakan bahwa KHI lebih dekat dengan tradisi civil law.